elama lebih dari empat dekade, satu nama terus menghantui panggung politik dan bisnis Indonesia: Riza Chalid. Ia bukan sekadar pengusaha, melainkan simbol oligarki yang selalu mampu bertahan di setiap rezim. Dari era Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga kini Prabowo Subianto, Riza Khalid selalu lolos dari jeratan hukum, meski namanya berkali-kali dikaitkan dengan skandal besar.
Di masa Orde Baru, Riza Chalid sudah dikenal sebagai pemain licin dalam bisnis migas. Ia membangun jaringan dengan lingkaran Cendana, memastikan dirinya tak tersentuh. Saat reformasi datang tahun sembilan belas sembilan puluh delapan, banyak kroni jatuh, tapi Riza justru makin kuat. Reformasi yang mestinya membersihkan KKN, malah memberi ruang bagi oligarki untuk bertransformasi.
Era Susilo Bambang Yudhoyono memperlihatkan betapa dalam cengkeraman oligarki migas di republik ini. Kasus “Papa Minta Saham” yang mencuat kemudian hanyalah satu dari sekian banyak jejak yang menunjukkan betapa Riza Chalid menguasai akses terhadap sumber daya negara. Publik hanya disuguhi drama politik, sementara aktor utamanya tetap aman.
Ketika Joko Widodo berkuasa, jargon “revolusi mental” dan pembangunan infrastruktur ternyata tak cukup kuat membendung dominasi oligarki. Riza Chalid tetap nyaman. Skandal migas ratusan triliun rupiah yang sempat diungkap PPATK memperlihatkan aliran dana mencurigakan yang melibatkan jaringan luas, dan namanya kembali disebut. Namun, hukum tak pernah benar-benar bergerak. Seakan negara sibuk mengejar pencuri kecil, sementara mafia besar dilindungi.
Kini, giliran Prabowo Subianto. Pemerintah secara terbuka menyebut Riza Chalid sebagai bagian dari mafia migas yang menggerogoti negara. Perintah penangkapan, pembekuan aset, hingga penyelidikan intensif disebut sebagai langkah tegas melawan oligarki. Tapi publik masih skeptis. Apakah ini benar-benar akhir dari Riza Chalid, atau sekadar drama politik yang berulang?
Editorial ini bukan hanya tentang satu orang. Riza Chalid adalah cermin dari penyakit kronis bangsa: oligarki yang menyandera politik Indonesia. Selama puluhan tahun, ia lolos bukan karena bersih, tapi karena sistem memberi ruang. Ia menanam uang ke banyak pihak, memastikan siapa pun presidennya, ia tetap selamat.
Jika Prabowo gagal menuntaskan kasus ini, maka sejarah hanya mengulang dirinya sendiri. Rakyat kembali dipaksa menyaksikan sandiwara hukum yang tak berujung. Namun, jika kali ini benar-benar berbeda, maka runtuhnya Riza Chalid bisa jadi titik balik penting: tanda bahwa oligarki bukan lagi kebal hukum.
Pertarungan ini bukan sekadar soal Riza Chalid vs Prabowo Subianto. Ini adalah ujian terbesar bagi negara: apakah hukum benar-benar bisa menundukkan oligarki, atau oligarki sekali lagi menertawakan hukum.
Dan sejarah akan mencatat: akhir dari Riza Chalid akan menjadi awal dari babak baru republik ini atau bukti bahwa negeri ini tak pernah belajar.



Komentar