Editorial Sejarah
Beranda » Visibaru.com » Rindu yang Diam-diam Tumbuh untuk Orde Baru

Rindu yang Diam-diam Tumbuh untuk Orde Baru

Momen 90-an (Sumber: 1cak)

Entah sejak kapan, setiap kali membicarakan masa Orde Baru, selalu muncul nada rindu di antara obrolan orang-orang tua, atau bahkan generasi muda yang tak sempat mengalaminya. Rindu pada apa, sebenarnya? Tentu bukan pada represi, bukan pada pembatasan bicara, dan bukan pula pada kekuasaan yang nyaris absolut. Rasa rindu itu lebih halus, lebih manusiawi: rindu pada ketertiban, kepastian, dan rasa aman yang kini terasa semakin mahal.

Dulu, hidup berjalan dengan ritme yang teratur. Harga kebutuhan pokok stabil, orang pergi ke pasar tanpa perlu menghitung ulang isi dompet tiap minggu. Pemerintah, dengan segala kontrolnya, mampu menjaga agar rakyat kecil bisa hidup dengan tenang. Tidak banyak guncangan ekonomi, tidak banyak ketidakpastian. Orang bisa merencanakan masa depan dengan sederhana: bekerja, menabung, menyekolahkan anak, dan hidup apa adanya.

Kedisiplinan dan nasionalisme pun terasa nyata. Di sekolah, upacara bendera dilakukan dengan penuh khidmat. Lagu wajib nasional dinyanyikan bukan karena kewajiban, tetapi karena kebanggaan. Orang masih mengenal nilai hormat pada sesama, gotong royong, dan rasa malu jika melanggar aturan. Meski sebagian dihasilkan dari sistem yang seragam dan kaku, semangat kebersamaan itu menumbuhkan perasaan bahwa negeri ini berjalan ke arah yang jelas.

Pembangunan menjadi kata kunci yang paling sering diingat. Di masa Orde Baru, jalan tol, waduk, jembatan, dan listrik desa bukan sekadar proyek politik, tapi bukti nyata kemajuan. Banyak orang yang dulu hidup di desa gelap tiba-tiba mengenal cahaya listrik, mengenal televisi, mengenal dunia luar. Mungkin di balik semua itu ada praktik kekuasaan yang tidak bersih, tapi bagi rakyat kecil, yang mereka lihat adalah perubahan konkret dan itu sudah cukup membuat mereka percaya.

Yang paling membekas mungkin justru kesederhanaan hidupnya. Tanpa gawai, tanpa media sosial, tanpa arus informasi yang menenggelamkan. Orang-orang lebih dekat secara emosional. Malam diisi dengan obrolan keluarga, bukan dengan layar. Dunia terasa lambat, tapi hati terasa penuh. Ada ruang untuk saling sapa, ruang untuk diam, dan ruang untuk benar-benar hidup.

Koalisi Internasional Sepakat Hentikan Perdagangan Energi Rusia untuk Tekan Kremlin

Soeharto sendiri, dengan segala paradoksnya, menjadi simbol yang sulit tergantikan. Di satu sisi ia sosok yang keras dan menakutkan, tapi di sisi lain ada citra “bapak bangsa” yang menenangkan. Senyumnya yang tenang seolah memberi pesan bahwa negara dalam kendali, rakyat tak perlu cemas. Dalam masa penuh gejolak dan kebingungan politik sekarang, bayangan akan figur seperti itu mudah memunculkan rasa rindu.

Namun tentu, tidak semua kenangan itu seindah yang diingat. Ada luka sejarah yang tak boleh dihapus: pembungkaman, pelanggaran HAM, dan kesenjangan sosial yang terpendam. Tapi rindu pada Orde Baru bukan berarti ingin kembali ke masa itu. Rindu itu muncul karena kehidupan sekarang terasa terlalu berisik, terlalu cepat, terlalu penuh janji yang tak ditepati.

Mungkin, yang dirindukan bukanlah Orde Barunya, melainkan rasa tertib dan damai yang pernah ada di masa itu. Rasa bahwa negara hadir untuk rakyat, bahwa hidup punya arah, bahwa masa depan bisa direncanakan tanpa cemas.

Kini, di tengah kebebasan yang sering kehilangan arah, nostalgia itu muncul sebagai cermin bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk mengingat bahwa kemajuan seharusnya tidak mengorbankan ketenangan.

Karena pada akhirnya, kerinduan pada Orde Baru bukan soal politik. Ia adalah kerinduan manusia pada keteraturan, pada rasa aman, pada kesederhanaan hidup yang kini kian langka. Sebuah rindu yang pelan-pelan tumbuh, di antara keramaian zaman yang makin tak tentu arah.

MENLU Amerika Serikat Rubio Tolak Peran UNRWA di Gaza, Picu Kecaman Internasional

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

× Advertisement
× Advertisement