Dalam sejarah politik Indonesia, nama Prabowo Subianto kerap dilingkupi kabut kontroversi. Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, terutama menjelang reformasi 1998, masih menjadi bahan diskursus panjang, baik di dalam negeri maupun di luar. Amnesty International, dalam artikelnya yang berjudul “Prabowo’s Dark Past Casts a Pall Over His Presidency”, kembali mengangkat isu tersebut dengan sudut pandang yang kelam dan satu arah. Namun, editorial ini mencoba menimbang ulang: apakah masa lalu harus selamanya menjadi palung gelap yang menelan peluang bagi perubahan dan kontribusi?
Perlu diakui, masa lalu Prabowo bukan tanpa noda. Ia adalah bagian dari generasi militer yang hidup dalam sistem otoritarian yang kaku dan hierarkis. Namun, konteks sejarah tidak bisa dipisahkan dari penilaian moral. Dalam situasi transisi politik yang penuh gejolak, di mana negara berada di ambang perpecahan, setiap tindakan militer sering kali diambil dalam tekanan luar biasa demi stabilitas, bukan semata ambisi pribadi. Adalah kealpaan jika kita menilai masa lalu tanpa memahami medan sosial dan politik di mana tindakan itu lahir.
Lalu, dua dekade setelah badai itu berlalu, sosok Prabowo menunjukkan transformasi yang nyata. Sebagai Menteri Pertahanan, ia telah menampilkan kedewasaan politik yang jarang dimiliki oleh banyak rivalnya. Ia bekerja lintas partai, mendukung pemerintahan yang dahulu menjadi lawannya, dan menunjukkan kemampuan kompromi yang menandakan kematangan seorang negarawan. Bagi publik yang cermat membaca arah sejarah, ini bukan tanda kelemahan melainkan kebesaran jiwa.
Dan kini, setelah resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo menghadapi ujian yang jauh lebih besar: membuktikan bahwa perjalanan panjangnya bukan sekadar pencarian kekuasaan, melainkan misi rekonsiliasi nasional. Dalam beberapa bulan pertama pemerintahannya, publik mulai menyaksikan gaya kepemimpinan yang berbeda: lebih tenang, pragmatis, dan berorientasi pada hasil. Ia tak lagi berbicara dalam diksi konfrontatif seperti masa kampanye, melainkan dalam bahasa persatuan, stabilitas, dan kedaulatan bangsa.
Di bawah kepemimpinannya, arah pertahanan nasional menunjukkan kesinambungan dari kebijakan sebelumnya, namun dengan tekad yang lebih besar untuk membangun kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Pabrik amunisi, senjata ringan, dan kendaraan taktis mulai digenjot dengan semangat nasionalisme ekonomi. Ia menegaskan bahwa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak lagi sekadar pasar bagi senjata asing.
Selain itu, langkah diplomatiknya juga patut dicatat. Prabowo berhasil meredam ketegangan regional dengan pendekatan yang tak selalu konvensional. Dalam forum internasional, ia tampil percaya diri, berbicara dengan gaya khasnya yang lugas, keras, namun terukur. Ia tidak berbicara untuk menyenangkan dunia, melainkan untuk menjaga martabat bangsa. Inilah bentuk kedaulatan yang nyata: keberanian untuk berbeda, tanpa kehilangan arah.
Apakah itu berarti masa lalu bisa dihapus begitu saja? Tentu tidak. Tetapi keadilan yang sejati bukanlah menghukum seseorang tanpa akhir, melainkan memberi ruang bagi penebusan dan pembuktian. Dalam demokrasi yang matang, seseorang diadili bukan hanya karena apa yang pernah ia lakukan, tetapi juga dilihat dari apa yang ia perjuangkan setelahnya. Prabowo tidak melarikan diri dari sejarahnya. Ia berdiri di atasnya, membawa pengalaman pahit masa lalu sebagai pelajaran bagi masa depan.
Ironisnya, kritik dari lembaga-lembaga luar seperti Amnesty International sering kali mencerminkan bias yang khas: mereka menilai dunia dengan kacamata moral Barat, tanpa memahami nuansa politik Indonesia yang kompleks. Negara ini tidak dibangun di ruang steril; demokrasi kita tumbuh dari luka, konflik, dan kompromi. Menilai Prabowo semata dari laporan lama tanpa melihat transformasinya hari ini sama saja dengan menolak fakta bahwa bangsa ini pun telah berubah.
Kini, sebagai presiden, Prabowo dihadapkan pada tugas yang jauh lebih mulia: meneguhkan kembali kepercayaan rakyat dan memulihkan harga diri bangsa. Ia sadar bahwa masa lalunya selalu akan menjadi bayang-bayang, tetapi justru di sanalah letak tantangan sejatinya untuk membuktikan bahwa masa lalu bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru.
Prabowo bukanlah sosok sempurna dan bangsa ini pun tidak menuntut kesempurnaan. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu belajar, menyesuaikan diri dengan zaman, dan bekerja tanpa pamrih bagi rakyat. Dalam konteks itulah, menilai Prabowo haruslah dengan nalar yang utuh: bukan sekadar mengulang narasi lama, tetapi membaca arah baru yang kini mulai ia ukir.
Bangsa ini terlalu besar untuk terus hidup dari trauma. Ia perlu pemimpin yang mau mengakui masa lalu, namun tak terjebak di dalamnya. Dalam keteguhan sikap, disiplin militer, dan kemauan untuk berdialog, Prabowo membawa sinyal baru: bahwa sejarah bisa ditulis ulang, bukan dengan pena pembenaran, melainkan dengan kerja keras dan keberanian untuk berubah.



Komentar