Editorial Politik
Beranda » Visibaru.com » Gibran, “Anak Ingusan” yang Plonga-plongo Namun Ditakuti Banyak Politikus Senior

Gibran, “Anak Ingusan” yang Plonga-plongo Namun Ditakuti Banyak Politikus Senior

Ada paradoks besar dalam politik Indonesia hari ini. Seorang anak muda yang sering dicibir “ingusan” dan “plonga-plongo” justru menjadi sosok yang ditakuti banyak politikus kawakan. Dialah Gibran Rakabuming Raka.

Secara kasat mata, Gibran tidak punya aura intimidatif. Ia bukan orator ulung, bukan pemikir brilian, dan bukan pula organisator tangguh. Gaya bicaranya kaku, ekspresinya sering kosong, dan narasinya jarang menggugah. Ia lebih mirip murid baru yang kebingungan di kelas politik. Namun di situlah letak absurditasnya: semakin ia terlihat polos, semakin besar pula rasa takut lawan politik terhadapnya.

Ketakutan itu lahir bukan dari kapasitas pribadi, melainkan dari aura kekuasaan yang melekat. Semua orang tahu, darah yang mengalir dalam dirinya adalah darah istana. Setiap langkahnya, betapapun canggung, selalu dibaca sebagai perpanjangan kuasa sang ayah. Maka menyerang Gibran bukan hanya menyerang individu, melainkan berhadapan langsung dengan bayang-bayang Jokowi yang masih kuat mencengkeram panggung politik.

Politisi senior pun jadi gagap. Mereka yang biasanya lantang bersuara tiba-tiba mengecilkan diri ketika berhadapan dengan Gibran. Kritik keras hanya berhenti di warung kopi atau media sosial, jarang berani diwujudkan dalam manuver nyata. Mereka paham risikonya: satu serangan terbuka bisa menutup akses mereka pada lingkaran kuasa, dari anggaran hingga kursi kekuasaan.

Di sinilah wajah politik kita tampak telanjang. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang kompetisi justru tersandera oleh dinasti. Politik yang mestinya berbasis kapasitas berubah jadi arena nama belakang. Dan publik dipaksa menerima kenyataan bahwa “plonga-plongo” bisa lebih menakutkan daripada visi, strategi, atau prestasi.

Koalisi Internasional Sepakat Hentikan Perdagangan Energi Rusia untuk Tekan Kremlin

Ironisnya, yang sebenarnya plonga-plongo bukan hanya Gibran, melainkan para politikus lawas yang tak berani melawan. Mereka tahu ada yang salah, tapi memilih diam. Mereka sadar demokrasi tergerus, tapi lebih memilih aman demi kursi empuk. Pada akhirnya, ketakutan terhadap Gibran lebih mencerminkan kelemahan mereka sendiri ketimbang kekuatan sang “anak ingusan.”

Fenomena ini juga memberi sinyal suram untuk masa depan. Jika jalur politik bisa diwariskan seperti bisnis keluarga, maka jangan heran bila wajah-wajah baru yang minim kapasitas terus bermunculan. Mereka tak perlu membuktikan diri, cukup membawa nama keluarga untuk membuat lawan menunduk. Demokrasi pun berubah menjadi sirkus dinasti: rakyat menonton, elite tertawa, sementara keberanian politik perlahan mati.

Maka, mari kita bertanya lebih jujur: apakah Gibran benar-benar menakutkan? Atau sebenarnya para politikus itu yang terlalu pengecut, terlalu plonga-plongo untuk melawan bayangan istana?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

× Advertisement
× Advertisement